I Am Malala – Malala Yousafzai & Chistina Lamb

image

Beginilah seharusnya sebuah biografi dibuat. Seru, menegangkan, dan sangat inspiratif. Tak banyak buku biografi saya baca – Sir Alex Ferguson, Muhammad Al Fatih, Soe Hok Gie, Valentino Rossi, Merry Riana, JK Rowling, Chris Gardner. Semua tak semenarik buku ini, The Other Side of Me –nya Sidney Sheldon tetap biografi terbaik yang pernah kubaca. Lalu Hugo Chavez baru I Am Malala.
Kisahnya runut, enaaaak sekali dibaca. Buku setebal 383 halaman ini memang tebal dan melelahkan, saya butuh seminggu dan waktu khusus sampai begadang untuk menyelesaikannya. Dengan ekspektasi tinggi, yang untungnya terpenuhi. Saya memang rada awam sejarah Timur Tengah, jadi bagiku buku ini sangat bervitamin. Saya jadi tahu sejarah Pakistan, yang ternyata pecahan India merdeka tahun 1947. Pecah karena dipisah perbedaan agama, Muslim dan Hindu. Sebagai negara Muslim pertama yang didirikan oleh Muhammad Ali Jinnah, yang setahun kemudian meninggal. Sejarah berdirinya Bangladesh. Bagaimana Alexander yang Agung sampai di sana. Kudeta-kudeta yang terjadi, perang tiada henti, sampai bagaimana detail Osama Bin Laden tewas. Segalanya disajikan dengan sangat indah, seakan kisah fiksi ratusan tahun lalu. Padahal sejarah itu tak lebih dari sedekade yang lalu. Betapa dunia berputar sekelebat.
Sebelumnya saya sudah dengar, bahwa remaja ini mendapatkan nominasi Nobel Perdamaian. Wanita termuda yang pernah mendapatkannya. Betapa dunia terkejut akan kematian mantan perdana menteri wanita Pertama Pakistan, Benazir Bhuto yang kembali dari pengasingan dibunuh oleh serangan teroris. Saya saat itu masih di Cikarang dan seluruh koran nasional memberitakannya sebagai headline. Betapa Taliban berjuang di Afganistan – setelah baca buku ini saya tahu Taliban juga menguasai Pakistan – untuk mererapkan sistem Pemerintahan Islam. Di buku Kite Runner perang Afgan lawan Uni Sovyet yang panjang, tentu saja disinggung. Dan karena saya Muslim, setidaknya sedikit tahu masalah syariat yang coba disampaikan di buku ini. Semua dikemas dengan sangat mendebarkan.
Kisah dipecah dalam lima bagian, pertama: Sebelum Taliban yang menceritakan sejarah Pakistan. Kedua: Lembah Kematian tentang Taliban yang mencoba membuat Pakistan menerapkan syariat. Ketiga: Tiga Anak Perempuan, Tiga Anak Peluru yang mengkisahkan perjuangan Malala dalam bersekolah sampai akhirnya terjadi upaya pembunuhan. Keempat: Antara Hidup Dan Mati tentang upaya bertahan hidup sampai diterbangkan ke Inggris dan yang terakhir: Kehidupan Kedua tentang upayanya memperjuangan pendidikan bagi kaum perempuan. Dibagian pembuka ada peta Swat, Pakistan dan area sekitar yang sangat membantu untuk mengimajinasikan kejadian yang dituturkan. Dibagian tengah ada foto-foto Malala untuk menunjang cerita.
Dari pembuka, buku ini sudah terbaca hebat, jelas ditulis oleh seorang pengalaman yang saya yakini Christina Lamb lebih dominan menulisnya. Seorang jurnalis Sunday Times, wartawan kawakan yang sudah mendapat banyak penghargaan. Prolog-nya mengguncang dan suatu saat saat difilmkan, adegan penembakan itu pastinya sangat dramatis dengan musik skore yang menghentak. Kenapa? Judul ‘I Am Malala’ bukanlah sembarangan pilihan. Ternyata itu adalah jawaban yang tak terucapnya terhadap sang penembak. Saat itu di siang hari sepulang sekolah, Malala naik bus sekolah Khushal yang disopiri Usman Bhai Jan. Bus itu dijejali dua puluh anak perempuan dan tiga guru. Malala duduk di antara temannya Shazia Ramzan dan Moniba. Setelah melewati pos pemeriksaan Bus mereka dihentikan sebuah truk, sang sopir ditanyai. Lalu pemuda dengan topi pet dan sapu tangan menutupi hidung dan mulutnya masuk. Memeriksa beberapa saat dan berujar, “Yang mana Malala?” Tak seorang-pun bicara, namun beberapa anak perempuan memandang Malala, dialah satu-satunya anak perempuan yang wajahnya tak tertutupi. Saat itulah pemuda itu mengangkat pistol Colt .45. saat itu Selasa, 9 Oktober 2012, prolog ditutup dengan kalimat: Yang mana Malala? Aku Malala dan inilah kisahku. []
Malala adalah anak kedua dari seorang ayah yang cerdas Ziauddin dan seorang ibu yang cantik namun buta huruf. Mereka dari klan Dalokhel Yousafzai. Anak pertama meninggal, Malala mempunyai dua adik laki-laki: Atal dan Khushal. Dinamai mengikuti nama Malalai dari Maiwand, pahlawan wanita terbesar Afganistan. Ayahnya adalah seorang pendiri sekolah, penceramah yang hebat dan berpengaruh, turunan kakeknya yang lulusan India. Dari dasarnya saja, kita tahu Malala mirip ayahnya. Menyukai bacaan dari Twilight, Sherlock Holmes, The Alchemist, buku-buku Charles Dickens. Romeo-Juliet sampai The Wonderful Wizard of Oz. Sebuah akar yang bagus.
Terlahir dan besar di lembah Swat, sebuah wilayah yang awalnya berdikari namun saat Pakistan merdeka wilayah ini bergabung. Dari jejak sejarah, lembah Swat pernah dihuni umat Budha karena adanya patung-patung Budha di sana. Di Pakistan, hidup terasa tidak adil bagi kaum perempuan, seakan mereka terlahir hanya untuk mengurus suami dan anak. Nah poin utamanya adalah ini, kesetaraan gender. Hak pendidikan yang sama. Ternyata Pemerintahan di sana tak jauh beda dengan di Indonesia saat ini. Korupsi merajalela, pemerintahan terpusat di ibu kota dan kota besar lainnya. Wilayah terpencil, semacam Swat jarang didengar. Para politisi akan berkunjung hanya jelang Pemilu. Bedanya, di sana terjadi kudeta berulang kali. Perebutan kekuasaan lebih sadis, teroris di mana-mana. Tembakan dan dentuman peluru adalah musik yang menghiasi malam. Sungguh mencekam. Melihat detail mengerikan itu membuatku syukur tinggal di Indonesia. Yah, walaupun di Negeri ini disiplin rendah, pejabat yang tak bisa diandalkan, atau egoistis yang tinggi. Setidaknya, di Negeri ini tak terjadi perang.
Dari buku ini saya juga akhirnya tahu. Di Timur Tengah sana, sedikit yang bisa bahasa Arab. Di Pakistan, yang bahasa utamanya Urdu ternyata penafsir Al Quran-pun dianggap sangat agamis, dan dipuja saat orang ngomong Arab. Peristiwa 9/11 yang mengguncang dunia itu, di sana ditanggapi beragam pula. Seperti yang kita tahu, Osama Bin Laden tewas di kota Abottabad, Pakistan. saya hanya selintas nonton Zero Dark Thirty, di buku ini dijelaskan kronologi sesungguhnya dari sudut pandang Pakistan. Betapa bobroknya militer di sana.
Malala menangkapnya dengan jitu melalui pemikiran seorang remaja perempuan. Perempuan dilarang sekolah, harus memakai burqa – menutup wajah sehingga hanya kelihatan matanya. Harus ditemani saudara laki-laki saat keluar rumah. Hukuman cambuk bagi seorang lajang yang zina, dan rajam bagi seorang yang sudah menikah. Tak boleh ada patung, tak boleh ada lukisan. Kaset, CD, DVD dibakar. Televisi dibumihanguskan. Dan seterusnya dan seterusnya.
Saya jadi tahu, sejarah Taliban di Pakistan yang didirikan Fazrullah yang slogannya terkenal: Shariat Ya Shahadat – Syariat atau Syahid. Menyebarkan Islam lewat Mullah FM. Berperang melawan pemerintahan yang sah, melakukan bom bunuh diri di tempat-tempat strategis, sekolah-sekolah perempuan diledakkan. Yang paling terkenal dari kisah Taliban adalah pengepungan Masjid Merah tanggal 3 Juli 2007.
Salah satu kutipan yang layak saya bagikan adalah ini. Ayah Malala yang juga diburu Taliban selalu membawa kertas bertuliskan sajak karya Martin Niemoller seorang Jerman yang hidup di bawah tekanan Nazi. Sajak yang menginspirasi bahwa jika semua orang diam maka tidak akan ada yang berubah. Sajak itu berbunyi: Pertama-tama mereka datang memburu komunis dan aku tidak bersuara karena aku bukan komunis | Lalu mereka datang memburu sosialis dan aku tidak bersuara karena aku bukan sosialis | Lalu mereka datang memburu serikat buruh dan aku tidak bersuara karena aku bukan serikat buruh | Lalu mereka datang memburu orang Yahudi dan aku tidak bersuara karena aku bukan Yahudi | lalu mereka datang memburu orang Katolik dan aku tidak bersuara karena aku bukan Katolik | Lalu mereka datang memburuku, dan tak seorang pun tersisa untuk membelaku.
Malala juga rajin menulis kisahnya dengan nama samaran Gul Makai. Tulisannya lebih banyak mengkritisi kebijakan Pemerintah tentang pendidikan. Sebenarnya kehebatan Malala adalah buah kerja keras ayahnya yang teguh akan pentingnya menyuntik ilmu sedari kecil kepada anak. Ayah yang hebat selalu mendukung apa yang bagus buat putrinya.
Keluarga ini memang luar biasa, melawan ketidakadilan dengan aksi nyata. Walaupun tak semua saya setuju, seperti tak mau memanjangkan janggut karena Taliban. Well, alasan yang kurang bijak karena ada hadist yang bilang ‘peliharalah janggut.’ Lalu bagian yang menjelang akhir ada kalimat, “Jika Malala meninggal berarti aku membunuh Ibu Teresa-nya Pakistan.” Menurutku terlalu berlebihan. Ingat buku ini ditulis bersama, sehingga kalau sampai ada kalimat bombastis yang tak wajar seharusnya tak dicantumkan.
Terakhir, bagi kalian yang menginginkan buku penuh vitamin saya rekomendarikan untuk membacanya. Buku ini saya pinjam dari Sekar Ayu, sehingga pekan ini setelah saya selesai baca dan review akan segera saya kembalikan. Namun suatu saat pasti akan nangkring di Perpus Keluarga-ku. Layak koleksi, layak diajarkan kepada anak-cucu sebuah perjuangan yang menginspirasi. Siapa tahu suatu hari kelak putriku berujar, “Saya Hermione dan ini kisah tentangku…”
I Am Malala: Menantang Maut Di Perbatasan Pakistan-Afganistan | diterjemahkan dari: I Am Malala: The Girl Who Stood Up For Education And Was Shot By The Taliban | Karya Malala Yousafzai & Chistina Lamb | copyright 2013 by Salarzai Limited | Penerjemah Ingrid Dwijani Nimpoeno | Penyunting Esti A Budihabsari | Proofreader Ine Ufiyatiputri dan Yunni Y.M. | Cetakan 1, Mei 2014 | Diterbitkan oleh Penerbit Mizan | Design sampul Mario J. Pulice dan Ploy Siripant | Fotografer sampul Antonio Olmos | Sampil 2013 Hachette Book Group, Inc | ISBN 978-979-433-840-7 | Untuk anak-anak perempuan yang menghadapi ketidakadilan dan dibungkam. Bersama-sama kita akan didengar | Skor: 4/5
Karawang, 160516 #Linkin Park – My Suffering