Obrolan urban. Ini adalah buku utuh pertama yang saya baca dari bung Seno, sebelumnya hanya baca beberapa cerpen dan esai yang tersebar di media. Kini saya berkesempatan membaca secara keseluruhan dalam rangkuman esai yang dinukil dari majalah dan tabloid Djakarta!, kolom Affair (2004) sampai Kentut Kosmopolitan (2013). Selesai membacanya saya langsung teringat teman saya dari Bandung yang sekarang terdampar di Jakarta, teman dikusi film yang menjalar ke berbagai topik lain. Kenapa saya teringat Mohammad Takdir? Karena tulisan beliau yang merakyat dan sering sebut jelata, sebut kaum urban, sebut ani-nya Rhoma, sebut kaum kelas bawah dengan berbagai problematikanya. Lalu setelah membahas topik utama bung Tak – panggilan saya kepada beliau – akan menukil orang-orang besar terdahulu dari Baker, Ami Priyono, Chairil Anwar sampai penulis-penulis Eropa Timur yang asing di telinga. Nah, buku ini polanya mirip. Namun sayang bung Seno terlampau serius, kurang nada humor layaknya bung Tak sehingga jatuhnya bosan. Sehingga harapan saya yang (terlampau) tinggi kurang terpenuhi saat saya menutupnya. Buku ini lebih kepada pengamatan sang Penulis terhadap ibu kota dengan analisis dan argumennya. Ditambah beberapa istilah asing biar terlihat keren.
Berisi 44 esai semua tentang Jakarta dengan hiruk pikuknya. Beberapa bagian memang menjadi bacaan yang bervitamin, namun beberapa yang lainnya menjurus ke kebosanan, beberapa lainnya lagi unik, beberapa lainnya bahkan boleh di-skip. Yang menarik adalah setiap ganti topik kita disuguhi gambar-gambar klasik produk Indonesia. Dari kopi, rokok, keripik sampai obat-obatan. Sebuah nilai tambah. Gambar-gambar yang memanjakan mata. Sebagian tentu saja pernah mengkonsumsi, dulu waktu kecil. Patut diapresiasi bungkus produk yang di-scan itu semacam nostalgia.
Dalam kesempatan berbagi dalam meeting dan briefing pagi di kantor NICI tanggal 4 Mei 2016 lalu, saya membacakan salah satu topik yaitu tentang Zebra Cross. Sebuah gambaran nyata betapa kita kurang menghormati para pejalan kaki. Bagian itu terbaca lucu sekaligus miris. Tertulisnya begini: Di berbagai tempat di Jakarta terdapat zebra cross alias tempat pejalan kaki dianjurkan menyebrang. Menurut teori, jangankan sebelum menginjak zebra cross, orangnya baru nongol saja dan kakinya masih di trotoar, mobil yang mau lewat seharusnya berhenti dan menunggu sampai penyeberang lewat. Di berbagai kota yang sudah “tertib”, bahkan saya kadang bermain-main, seakan-akan mau menyeberang padahal tidak, sehingga para pengemudi beradab betul-betul bingung. Di Jakarta saya sering dibingungkan oleh kejadian sebaliknya. Saya sering pura-pura beradab dan berhenti di zebra cross ketika tampak seseorang mau menyeberang, tapi ajaib. Sang penyeberang ini terlihat ragu-ragu dan tidak percaya bahwa ada mobil menunggu beliau menyeberang jalan terlebih dahulu. Sering kali keraguannya begitu lama, dan akibatnya mobil-mobil di belakang menjadi murka luar biasa, seperti ditunjukkan klasok. Ketika akhirnya beliau menyeberang, meski tampak jelas saya menunggu, larinya juga cepat sekali seolah-olah ada mobil siap meluncur menabraknya. – halaman 159
Di bab Manusia Jakarta, Manusia Mobil ada bagian yang sangat menohok: Manusia dan mobil dalam sintesis kemacetan ternyata melahirkan semesta unik. Secara teoritis waktu dalam kehidupan manusia Jakarta dibagi menjadi dua: di rumah dan di tempat kerja. Ini melahirkan dikotomi stereotip tentang talik ulur antara keluarga dan karier. Dalam praktiknya, waktu 24 jam itu ternyata dibagi tiga: waktu di rumah, waktu di kantor dan waktu dalam perjalanan yang bagi sebagian manusia Jakarta, hal ini berarti berapa dalam mobil. Andaikan secara rutin dia menghabiskan 2 jam untuk mencapai kantor dari rumah yang terjebak macet, maka berarti 4 jam sehari, masih ditambah jika segala urusan kerja dia harus ke sana kemari. Alhasil, sepertiga waktu dalam hidup manusia Jakarta dihabiskan dalam mobil. Seandainya ia bekerja mulai umur 25 tahun, dan berhenti kerja 55 tahun maka tak kurang dari 10 tahun dari masa kerjanya habis di perjalanan. – halaman 22
Di bab Mobil: Sebuah Mitos saya juga senang sekali mengetahui asal usul mobil pertama di Indonesia. Saya nukilkan: Bung Karno berkisah kepada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966), tentang bagaimana Republik Indonesia mendapatkan mobil resminya yang pertama. Seperti yang diketahui, setelah mengucapkan proklamasi, dan ditunjuk sebagai presiden, bung Karno pulang berjalan kaki dari Pegangsaan Timur 56 dan merayakan kemerdekaan Indonesia seorang diri di pinggir jalan dengan memesan 50 tusuk sate. Besoknya 18 Agustus 1945, seorang pengikutnya Sudiro – yang berfikir sudah sepantasnya seorang presiden menaiki mobil – berburu ke seluruh Jakarta. Dia menemukan sebuah mobil Buick besar, yang muat untuk tujuh orang, dengan tirai di jendela belakang. Sayang mobil ini milik Kepala Jawatan Kereta Api yang masih orang Jepang. Dalam semangat revolusi, tentu ini bukan masalah besar. Sudiro mendatangi mobil itu dalam garasi. “Heh, saya minta kunci mobilmu,” ujarnya kepada supir yang kebetulan dikenalnya. | “Kenapa?” tanya orang itu kaget. | “Kenapa?” Sudiro mengulangi, terguncang oleh kebodohan itu. “Karena saya bermaksud mencurinya untuk presidenmu.” Begitulah dengan cara seperti itu, mobil tersebut menjadi milik Republik Indonesia. Namun ini tak membuat masalah selesai. Apa lagi? Ternyata – dan ini khas Indonesia – tidak ada yang bisa mengendarainya! Haha! “Di mana kami bisa belajar?” Bung Karno berkata, “Orang Indonesia tidak mempunyai kendaraan di zaman Belanda, dan hanya pembesar yang dapat memakai kendaraan di zaman Jepang.” Sudiro harus mencari sopir lain untuk menjalankan mobil itu, begitulah sejarah kepemilikan mbil di negeri ini mulai ditancapkan. – halaman 170
Dalam bab Jakarta Yang Sebenarnya? Saya ikut terenyuh terhadap keponakan bung Seno, berikut saya nukil: Ketika melewati Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin, keponakan saya itu bertanya: “Jadi ini Jakarta?”; dan jawaban saya pun cukup klise: “Bukan, ini Jakarta yang semu, karena deretan gedung-gedung tinggi hanya berada dalam enclave Segitiga Emas.” Jadi menurut saya yang mana Jakarta sebenarnya? “Inilah Jakarta,” kata saya ketika melewati jalan berlubang-lubang, sehingga mobil hanya merayap lambat dalam kemacetan, sementara para Mister Cepek merajalela dari segala penjuru mengulurkan tangan. – halaman 192
Dalam bab Ojek Sudirman-Thamrin saya teringat fenomena Go-Jek dan taksi Uber yang saat ini menuai pro-kontra. Tulisan beliau buat saat di Paris tahun 2007 sehingga tentu saja ide ada transpotasi motor sudah ada jauh hari. Berikut saya nukil: Apakah ide datangnya ojek datang dari seorang menteri? Sudah pasti bukan. Kalau begitu apakah datang dari seorang profesor? Tentu tidak. Ojek adalah bukti kreatifitas dalam usaha suvival kelas bawah dalam tingkat kemakmuran ekonomi seadanya yang bisa diperjuangankan negara, baik dari masa pemerintahan Orde Baru sampai Reformasi. Bahwa di satu pihak ojek dibutuhkan Jakarta adalah bukti terbatasnya jangkauan pemikiran Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota; di lain pihak bahwa manusia terpaksa jadi tukang ojek sebagai alternatif satu-satunya, adalah terbatasnya lapangan kerja dalam struktur yang mampu disediakan pemerintah Indonesia. Namun jangan khawatir, tukang ojek mengampuni Pemerintah. ( . Bukankah selalu dikatakan masyarakat tidak harus menunggu uluran tangan Pemerintah? (Karena kalau hanya menunggu pasti berarti kematian! ( ) Fenomena ojek adalah contoh terbaik bentuk kreatifitas yang tumbuh dari kebutuhan komunitasnya. Ojek ada karena ada yang membutuhkan. Begitu pula dengan segala hal yang tumbuh dari bawah: Tanpa propaganda dan tanpa pengomporan. Kepentingan tukang ojek hanyalah makan untuk hari ini; kepentingan pengguna ojek sampai tujuan secepat-cepatnya. Itulah ideologi dalam wacana ojek. – halaman 188-189
Begitulah. Buku ini walau terasa biasa, tetap sangat bervitamin. Walau kalah lucu dari tulisan-tulisan bung Tak namun tetap membumi. Kenapa? Ya jelas kalah kelas. Bung Tak adalah (yang mengklaim) jelata yang benar-benar merasa tiap minggunya akrab dengan mie instan, naik transpot umum sampai baju pakai yang itu-itu saja. Bandingkan bung Seno yang nulis masalah ojek saja inspirasinya terperangkap di Eropa. Setiap tulisan memang punya plus-minusnya. Sebenarnya tulisan bung Tak kalau mau dirangkum dan dibukukan tak akan kalah pamor dengan rangkuman Tiada Ojek ini.
Terakhir, saya masih bisa menikmati buku ini walau kurang bisa memenuhi ekspektai. Masih layak baca, beberapa istilah asing bahkan saya catat untuk referensi bacaan berikutnya. Masih layak pajang di rak bersama buku bacaan lain. Kutunggu buku bung Tak di sampingnya.
Tiada Ojek Di Paris | oleh Seno Gumila Ajidarma | Penerbit Mizan | Cetakan II, Mei 2015 | design sampul Dodi Rosadi | Gambar-gambar seni rakyat koleksi Antyo Rentjoko dan Seno Gumila Ajidarma | ISBN 978-979-433-846-9 | Untuk Nagalangit dan Lautan Cahaya | Skor: 3/5
Karawang, 080516 – Subuh Minggu pagi bersama surah Yusuf