Pengalaman pertama saya mambaca karya Dr Najib adalah Karnak Cafe yang mengalir indah. Kekuatan utama ceritanya ada pada karakter yang kuat sehingga seakan-akan kita ikut duduk ngopi bareng dengan setiap individu yang terombang-ambing sebagai korban perang. Karena itulah saat tahu buku karya Najib ada di daftar jual sebuah toko online saya langsung membelinya. Diterjemahkan dari Al-lish wa Al-Kilab tahun 1972, apa yang ditampilkan ternyata tak seperti harapan. Inilah buku kedua dari penulis peraih nobel sastra asal Mesir yang saya nikmati.
Jika ada kata pengantar yang begitu buruk, bisa jadi di buku inilah salah satunya. Setelah membaca kata pengantar saya langsung teriak, “bangsat!” tak ada etika tak ada sopan santunnya ini menaruh spoiler di pembuka dengan entengnya. Joko Suryatno harus belajar membuat kata pembuka dengan lebih bijak. Ada aturan tak tertulis bahwa dalam me-review jangan membuka bocoran cerita secara gamplang kecuali ada alert-nya. Joko dengan santai membuat ringkasan Sekilas tentang novel ini dengan runut menceritakan kisah dari awal sampai akhir dalam tiga halaman. Lengkap dengan siapa yang bertahan hidup siapa yang tewas. Uh, sadis sekali kau kawan. Saya langsung membanting buku ini kecewa, bahwa sebelum memulai baca bab pertama saya sudah tahu ke arah mana kisah ini akan berjalan. Asem!
Diceritakan dalam 18 bab tentang seorang narapidana baru saja bebas setelah menjalani hukuman kurung, baru menghirup udara merdeka Sa’id Mahran dihadapkan pada pilihan sulit akan kemana selanjutnya. Membalas dendam pada penghianat yang membuatnya dipenjara ataukah membiarkan segalanya berjalan apa adanya dengan memulai hidup baru biar lebih damai? Kisah dimulai di hari pertama bebas, Sa’id mengunjungi rumah mantan istrinya Nabuyah untuk bertemu putri semata wayang Sanaa yang kini berusia 6 tahun. Namun yang menemuinya adalah Alish, suami baru Nabuyah dan pengawalnya Al-Mukhbir. Bukan sambutan nyaman yang diharapkan mengingat Alish adalah musuhnya.
“Yang sudah terjadi, biarlah berlalu. Sampai hari ini sudah banyak yang terjadi. Kejadian-kejadian itu terkadang membuat kita merasa sedih dan khawatir, namun hanya lelaki cela saja yang punya aib.” (halaman 8)
Sa’id pergi dari rumah itu dengan hati penuh kecewa. Niatnya untuk menemui dan mengambil hak asuh Sanaa gagal. Alish mempertahankan Sanaa dan meminta Sa’id untuk bertarung di pengadilan. Sa’id lalu bertemu Sayid Muhamad Ali Babak seorang tua pemuka agama setempat. Sa’id lalu meminta tolong kepada pak Ali untuk sementara tinggal di sana. Menjelaskan dengan jujur bahwa dirinya baru saja keluar dari penjara. Namun setelah penjelasan Sa’id, pak Ali dengan santai berujar bahwa “engkau belum keluar dari penjara.” Secara fisik ya, Sa’id sudah bebas tapi hatimu masih dipenjara dendam. “Seorang wanita langit menyatakan, ‘kenapa engkau mesti mencari kerelaan dari seseorang yang tak rela padamu? Janganlah kau lakukan yang demikian.’”
“Berwudlulah dan bacalah! Bacalah, katakan jika kalian benar-benar mencintai Tuhan, maka ikutilah aku, niscaya Tuhan akan mencintai kalian! Dan bacalah pula. ‘Dan aku mewakilkan diriku padamu!’ selain itu katakan pula ungkapan orang berakal, ‘Cinta kasih adalah persetujuan, atau ketaatan kepada-Nya atas perintah-perintah, dan meninggalkan larangan-larangan, serta ridha dengan hukum ketentuan.’” (halaman 29)
Nasehat yang bijak tersebut ternyata tak bisa mengubah Sa’id. Malam itu memang dirinya menginap bersama pak Ali tua, namun bara hatinya masih mengembara bagaimana membalas dendam kepada orang-orang yang sudah membuatnya menderita. Keesokan harinya Sa’id menemui teman lama yang kini sudah terpandang, ustadz Rauf Alwan. Dari kolom koran Al-Zahrah milik Rauf itulah dia ingin meminta bantuan kerja ke teman lamanya. Awalnya berjalan normal, namun setelah berbasa-basi panjang lebar Rauf sudah berubah. Kini Rauf sudah kaya raya, menjadi orang penting. Berteman dengan mantan penjahat membuatnya risih, walau tak diungkapkan secara langsung. Niatan Sa’id meminta kerja sebagai wartawan ditolak. “Masa lampauku belum mengizinkan aku untuk memikirkan masa depan.”
“Alangkah indahnya jika ada orang-orang kaya yang suka menasehati orang-orang miskin dan terlantar…” Sa’id pulang dari rumah Rauf dengan kemarahan. Walau bersalaman dengan dua lembar uang sebagai ‘sumbangan’ dirinya terlanjur sakit hati. Diniatkanlah misi balas dendam. Malam hari Sa’id berencana menyusup masuk rumahnya untuk merampok dan membunuh Rauf. Inilah titik pilihan yang menyesatkannya. Pilihan untuk kembali menjadi pencopet dan begundal. Jika api amarah dan khianat sudah bersemayam di dalam hati, mana bisa ada orang yang kuasa membendungnya.
Malam itu Sa’id menyusup rumah Rauf, rumah yang dulu sudah begitu dikenalnya. Sayang dirinya kepergok, ditangkap basah. Awalnya mau dibawa ke polisi, namun Sa’id memohon maaf. Penuh hina dirinya memohon ga dilaporkan polisi dan ga akan mengusik hidupnya lagi. Rauf memaafkan dan memintanya jauh-jauh.
Sa’id makin galau. Hidup semakin berat, tak ada pijakan pasti. Akhirnya pilihan sulit itu menempatkannya ke kedai milik Tarzan, teman lama lainnya. Kedai maksiat penuh alkohol, pelacur dan hal negatif. Sayang sekali, di saat pak tua Ali mengulurkan tangan untuk menebus dosa masa lalu justru Sa’id memilih kembali ke dunia hitam. Di kedai (yang mengingatkanku cerita Karnak cafe) itulah dirinya kembali bertemu pelacur, Nur yang sedari dulu mengaguminya. Akhirnya dirinya tinggal di kos Nur sembari menyusun misi balas dendam agar lebih matang. Dendam kepada mantan istri Nabuyah, dendam kepada mantan temannya Alish, dendam kepada ‘mantan’ ustadz-nya Rauf. Berhasilkah Sa’id membunuhnya? Ataukah akan berakhir kembali di penjara? Ataukah dirinya yang tewas? Hidup ini pilihan, dan setiap pilihan selalu memberi konsekuensi. Namun, yah hidup ini juga keras Bung!
Koran-koran itu lidahnya lebih panjang daripada tali gantungan buat penjahat. (halaman 135)
Di mana akan ada ketenagan, keamanan, kenyamanan? Aku ingin sekali merasakan ketenangan hidup, bisa tidur nyenyak, dan bangun tidur dengan segar bugar! Apakah semua itu hanya sekedar ilusi? (halaman 138)
Siapa yang bisa menghentikan esok hari? (halaman 167)
Bersabarlah, sabar itu suci dan mensucikan banyak hal. Hukum selamanya akan tetap adil. Tawakal dan berserah diri itu hanya kepada Tuhan. (halaman 194-195)
Dia ditanya, ‘adakah kamu melihat kesembuhan yang kita cari serta obat yang kita gunakan? Apakah semuanya terjadi karena kehendak Tuhan?’ Dia menjawab, ‘sesungguhnya semua itu dari kehendak Tuhan.’
Well, secara keseluruhan novel ini sebenarnya bagus. Walau kisahnya seperti sinetron lokal, namun apa yang ditampilkan memikat dan berani. Yang paling disayangkan adalah hasil terjemahnya yang buruk. Typo di mana-mana, susunan kalimatnya kurang rapi, hasil cetakan yang buruk padahal pakai kertas hvs, dan tentu saja kata pengantar yang sialan itu. Penerbit besar memang tak bohong karena hasil cetaknya tentu lebih menjanjikan. Penerjemah pengalaman tentunya lebih nyaman untuk dibaca. Dan penulis besar pemenang nobel memang jaminan, novel ini memikat namun tak memenuhi ekspektasi tinggi yang sudah kuharap sedari awal. Layak ditunggu buku lain karya Dr. Najib Mahfouz.
Pencopet Dan Kelompok Begundal | karya Dr. Najib Mahfouz | judul asli Al-Lish wa Al-Kilab | Penerbit Maktabah Mishr, Mesir | cetakan ke -6, 1972 | Penerjemah Joko Suryatno | Penerbit MISTSAQ | cetakan pertama, Agustus 2000 | Skor: 3/5
Karawang, 051015 – Lazio win againt Fro-apa-tuh 2-0