Ex Machina: Silence Intimidate

Nathan: Everyone is programmed, by nature or and nurture.

Kesunyian yang mengintimidasi. Luar biasa, apa yang ditampilkan Ex Machina sungguh mengerikan. Sedari awal saya sudah menduga akan ada kejutan dalam film setelah segala detail yang melelahkan itu. Yang pasti Alex Garland sudah membaca dan menganalisis buku Dr. Moreau’s Island karya HG Wells. Kecuali ending dan pemindahan zaman menyesuaikan teknologi: tema, eksekusi, dan kengerian akan rasa sepi sama.

Caleb (Domhnall Gleeson) adalah seorang jomblo, penyendiri, suka koding program komputer, seorang hidup sebatang kara, dan kikuk menghadapi cewek. Dia memenangkan sayembara memecahkan kode dalam ‘Turing Test’ yang menghadiahinya bekerja seminggu di sebuah riset pendiri Blue Book. Mendapatkan Wonka Golden Ticket untuk penelitian. Dengan sebuah helikopter, dirinya diturunkan di pulau terpencil seorang diri. Sang pilot bilang tinggal mengikuti aliran sungai Caleb akan sampai di gedung riset misterius yang dituju. Melalui skema canggih dengan melihat di monitor depan pintu dirinya mendapat kartu akses ke dalam. Sepi dan sunyi sendirian dalam gedung sampai akhirnya ketemu sang tuan rumah.

Nathan Bates (Oscas Issac) sedang berolah raga angkat barbel, seorang bilioner nyeleh khas peneliti. Seorang jenius yang mencipta mesin pencari nomor satu di dunia “Blue Book”. Minggir kau Google! Nathah kini sedang melakukan penelitian membuat robot yang bisa berfikir. Bukan ide baru? Ya kalian bisa bilang begitu namun tunggu komentar kalian sampai tulisan ini berakhir. Caleb direkrut untuk sebuah tes, tugasnya ngobrol dengan robot AI untuk diteliti sejauh nama perkembangannya. Ava (Alicia Vikander) tampak nyata, dengan bagian wajah yang terlihat sempurna andai bagian bawah tak terlihat kabel menjulur dalam perut dan kaki bisa jadi kalian akan jatuh hati. Masalah hati, akhirnya Caleb yang sebenarnya sengaja direkrut khusus itu beneran jatuh hati dengan Ava.

Gedung itu terpencil, akses keluar tak ada. Sinyal HP off. Telpon gedung dikunci. Ruang satu dengan yang lain dikunci sistem, hanya kartu Nathan yang bisa membuka semuanya. Caleb hanya bisa mengakses sebagian. Keseharian Nathan dibantu oleh robot Kyoko (Sonoya Mizuno), robot design Jepang yang tak bisa berbahasa Inggris. Tugasnya melayani dan ‘melayani’ saja. Nantinya Kyoko akan memegang peran penting untuk eksekusi ending itu.

Melalui tes Ava, Caleb berdialog dengan kaca sebagai pemisah, ngomongin tentang dirinya tentang keseharian Ava, tentang dunia luar, tentang cinta. Caleb seperti menemukan seorang gadis impian, Ava pun bilang dia ingin hidup bersama. Cinta manusia dan robot, bukan ide baru? Tahan komplain kamu sampai tulisan ini selesai kamu baca. Cinta yang tentu saja tak mungkin terwujud, Ava adalah robot yang dikurung Nathan untuk diteliti, Caleb seminggu di sana sebelum kembali ke dunia luar. Listrik sering padam tiba-tiba. Saat listrik padam itulah, terkuak fakta bahwa Ava sang pelakunya. Saat padam, Nathan tak bisa melihat cctv sehingga momen itu digunakan mereka untuk merencana kabur. Berhasilkah?

Well secara keseluruhan saya suka sekali film ini. Drama berkelas dengan setting minimal. Hanya menggunakan 4 karakter utama, satu lokasi, dialog hebat, skrip menawan, akting yang bagus. Seperti inilah sebuah film AI dibalut drama seharusnya dibuat. Gleeson yang lulusan Hogwart tampil dengan mimik pas, geek dan rapuh. Ironi keceriaan sebagai Billy Weasley. Catat, ke depannya Alicia Vikander mempunyai masa depan cerah. Aktingnya sebagai robot yang kaku yang mencinta sungguh memukau, dialah bintang utama film ini.

Saya sempat berdebat dengan teman yang menilai Ex Machina ga sebagus yang saya bilang. Dia bilang, mana mungkin seorang jenius bisa alkoholik gitu. Saya jawab: Ingat keseharian Nathan adalah olah raga, itu bisa menjernihkan kembali pikirannya. Kedua, masak dalam kondisi darurat seorang jenius tak ada ‘panic bottom’. Saya jawab: Ava dalam penelitian intelegensi karena seperti yang dijelaskannya di jelang akhir, robot tersebut akan ‘ditata’ ulang setelah diteliti. Makanya kenapa Ava dihajar tangannya bukan kepalanya saat mendesak. Ketiga, bagaimana bisa manusia jatuh cinta dengan robot? Wah yang ini mudah sekali, untuk tahu cinta kalian harus mengalami apa itu kesepian. Caleb itu pemuda kikuk yang sulit menemukan gadis yang sesuai kriteria maka saat akhirnya dia dapat, tak peduli dia kaya, cantik, robot atau apapun itu. Cinta, Caleb akhirnya menemukan cinta. Ada lagi yang mau diskusi? Silakan isi di kolom momentar nomor 4, 5 dan seterusnya.

Bagi yang suka drama, wajib tonton film ini. Endingnya walau sedikit tertebak tapi tak rusak oleh kenyamanan eksekusi. Ketika keputusan akhir diambil saya langsung teriak, “sereeem”. Hebat euy Alex Garland. Sepi dan sunyinya seperti 28 Day Later! Rekomendasi dari saya, Ex Machina adalah salah satu film terbaik 2015.

Two mastermind, one puppet.

Ex Machine | Director Alex Garland | Written Alex Garland | Cast Alicia Vikander, Domhnall Gleeson, Oscar Issac, Sonoya Mizuno | Skor: 4.5/5

Karawang, 021015

Menang Dan Mengecewakan

Featured image

Bermain di kompetisi kelas B untuk sebuah klub kelas A jelas ga sebanding. Setelah kekecewaan gagal ke Liga Para Juara, Lazio yang terperosok di Liga Malam Jumat (seakan) terpaksa mengejar asa kosong. Setelah mendapat 1 poin di laga perdana melawan Dnipro, pertandingan kedua yang berlangsung semalam dilalui dengan kemenangan. Melawan tim asal Perancis yang pekan lalu digasak 4 gol, kemenangan sepertinya akan mudah didapat. Saya bahkan nebak minimal gap 2 gol. Sayang 3 poin yang diperoleh dibarengi dengan permainan buruk. Memainkan pemain lapis dua di beberapa posisi adalah pilihan bagus mengingat target utama Serie A. Berisha di bawah mistar, disusul 4 bek: Basta, Mauricio, Hoedt dan Radu. Di tengah Pioli mempercayakan Onazi untuk menemani Biglia, Felipe, Mauri dan Savic. Dengan penggedor tunggal: Keita. Terlihat komposisi ini banyak mengalami perubahan dari saat menekuk Verona. Rotasi bagus untuk memberi semua kesempatan, namun mana Morisson.

Konsentrasi dari menit awal itu penting! Melalui sepak pojok gawang Berisha jebol di menit 6, gol mudah Sall yang hanya dibelokkan. Gol premature yang melecut perlawanan, Olimpico sesaat terdiam. Menit 11 hamper saja Biancoceleste menyamakan kedudukan, tandukan Hoedt bisa ditepis Stephane Ruffier. 2 menit kemudian Saint membuat jantung makin berdegup kencang, sundulan Nolan Roux kena mistar. Namun Lazio tak gugup, karena tak butuh waktu lama, Ogenyi Onazi pemain yang saat ini sedang dalam sorotan berhasil membalas kepercayaan Pioli. Gol yang unik, tendangan ‘kung fu’ menit 22 menyamakan kedudukan 1-1. Umpan silang Felipe yang gagal dimanfaatkan il Capitano justru malah jatuh di kaki Onazi yang dengan tenang menceploskan bola. Andai itu bola bisa disikat Mauri bias jadi malah gagal. Ada yang nyeleneh dari selebrasi Onazi, dirinya hormat pada Savic dan penonton seolah-olah bilang, “Saya masih ADA”.

Kejutan tak sampai di situ, menit 33 giliran Mauricio pemain yang sering saya kritisi itu giliran kasih andil. “pembuatannya” membuat Saint bermain dengan 10 pemain. Mauricio sampai berdarah kena sikut Robert Baric yang membuatnya langsung diusir. Oke, kita kasih kesempatan sampai Januari kalau masih bisa beri kontribusi positif silakan tetap di Lazio. Buktikan kalian berdua masih layak mengenakan jersey besar Elang Biru. Babak pertama ditutup imbang.

Babak kedua kita ambil inisiatif serangan. Mauricio yang cidera ditarik ganti Gentiletti, bek tengah ganti bek tengah, pas. Hanya butuh 3 menit gantian kita unggul, lewat tendangan bebas Biglia, kini Hoedt yang menyelesaikan bola mudah itu, 2-1. Ini adalah gol perdana pemain anyar Belanda untuk Lazio. Dari kesempatan minim, Hoedt selalu tampil prima (juga seakan) kasih lihat Pioli dirinya layak starter di laga penting. Unggul satu gol dan satu pemain harusnya Lazio tetap mempertahankan daya serang, mumpung waktu masih lama, mumpung main di kandang, mumpung momennya pas seharusnya tabung gol sebanyak mungkin. Mauri yang tampil dibawah perfoma diganti Matri, pemain tengah keluar, penyerang masuk, 2 striker pas. Sayangnya melempem, ada yang salah dalam cemunguth skuat. Bonus kekurangan pemain terjadi lagi di menit 77. Felipe dilanggar Sall sang skorer. Dengan 9 pemain. 3 menit kemudian Biglia mengkonversi keadaan dengan gol, 3-1.

Ini nih momen mengesalkannya, lengah! Bek tengah jadi sorotan utama karena hanya butuh 4 menit, Saint berhasil menipiskan keadaan lewat pemain pengganti Monnet-Paquet. Untungnya musuh hanya punya waktu 5 menit sehingga skor 3-2 bertahan sampai akhir. Kemenangan yang mengantar Lazio di puncak grup G bersama Dnipro dengan 4 poin.

Evaluasi utama ada di koordinasi pertahanan dan konsentasi menita awal-akhir. Lawan tim lemah saja kita kebobolan terus bagaimana nanti saat lawan top klaseman. Dengan 9 pemain saja mereka bisa bobol gawang, benar-benar bermasalah nih bek kita. Selain itu, Berisha juga main buruk. Heran, penampilannya konsisten tak membaik. Bagaimana nanti saat lawan tim besar yang ofensif, bagaimana nanti saat Derby, bagaimana nanti (saat kesempatan itu datang) lawan Barcelona. Kemudian hening. Stefan De Vrij ayo segera sembuh, kami sangat membutuhkanmu!

Sebagai catatan tambahan, secara bersamaan Fiorentina menang 4 gol di kandang lawan. Fiorentina adalah tim yang musim lalu kita bantai. Fio kini ada di puncak klasemen, gap hanya 3 poin. Kalau permainan tak seburuk semalam, bisalah kita kejar. Ada baiknya fokus ke Serie A, kompetisi lain pakai lapis kedua dan rotasi. Bisalah jadi nomor satu, bisalah pesta 15 tahun lalu terulang. Tak ada yang mustahil. Jangan puas untuk puncak grup G, menang lawan Saint itu memang selayaknya, kembali ketatkan tali sepatu Bro, Fro-apa-tuh sudah menunggu.

Lazio 3-2 Saint Ettienne (Onazi 22, Hoedt 48, Biglia 80; Sall 6, Kevin 84)

Lazio: Berisha; Basta, Mauricio (Gentiletti 46), Hoedt, Radu; Biglia, Onazi (Cataldi 74); Felipe Anderson, Milinkovic-Savic, Keita; Mauri (Matri 64) St-Etienne: Ruffier; Clerc, Sall, Perrin, Polomat; Pajot, Lemoine; Roux (Monnet-Paquet 74), Corgnet (Diomande 63), Hamouma (Bahebeck 63); Beric

Karawang, 021015 – sedang baca Hugo Chavez