“Jika aku bisa terjaga di tempat yang berbeda, pada waktu yang berbeda, dapatkah aku menjadi orang yang berbeda?”
Entahlah. Sungguh beruntung sekali saya menemukan buku ini di antara tumpukan buku diskon di bazar pesta buku Solo 2009. Buku yang entahlah saya tak tahu harus memulai dari mana. Fight Club jelas salah satu novel terbaik sepanjang masa. Beruntung juga saat membacanya saya ‘agak lupa’ film Fincher yang pernah kutonton di televisi sehingga saat twist diungkap saya masih mendapatkan feel yang sempurna. Kisah nyeleneh, buku unik, dan kata-kata yang disajikan penuh inspirasi. Salut!
Tokoh aku dalam kisah ini mengalami insomnia. Insomnia hanyalah gejala untuk sesuatu yang lebih besar. Segalanya tampak jauh, Salinan dari Salinan dari Salinan. Insomnia membuatmu berjarak dari segalanya, kau tak bisa menyentuh apa pun dan taka da yang bisa menyentuhmu. Inilah kebebasan, kehilangan segalanya adalah kebebasan. Sampai akhirnya dia tertidur di pesawat, tidur nyenyak yang bahkan bayi-pun tak sepulas itu. Dia terjaga di Air Harbor International. Di sinilah segalanya dimulai, saat dirinya ‘bertemu’ Tyler Durden. Sesaat adalah yang terbaik yang dapat kau harapkan dari sebuah kesempurnaan. Jika kau banyak bepergian kau belajar mengepak hal yang sama untuk setiap perjalanan. Enam kemeja putih. Dua celana panjang. Perlengkapan minuman untuk bertahan hidup. Jam alarm untuk bepergian. Pencukur elektrik nirklabel. Sikat gigi. Enam pasang pakaian dalam. Enam pasang kaus kaki hitam.
Orang-orang yang pernah kukenal sering duduk di kamar mandi sambil membaca bacaan porno, sekarang mereka duduk di kamar mandi membaca katalog IKEA. Banyak abak muda tak tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan. Kebosanan itulah yang membuatnya ikut Klub Petarung. Aturan pertama ikut Fight club adalah jangan bicara tentang fight club. Setelah ikut klub petarung, menonton football di televise bagaikan menonton film porno padahal ksu bisa melakukan seks yang hebat.
“Kau tahu, kondom adalah sepatu emas generasi kita. Kau memakainya ketika kau bertemu orang asing. Kau berdansa semalaman, lalu kau membuangny. Kondomnya maksudku, bukan orang asingnya.” (halaman 83)
“Karena semua yang nyata kini hanya tinggal cerita, dan semua setelahnya hanya tinggal cerita.” (halaman 94).
Dia selalu menyiramkan air ke kloset untuk menutupi suara-suara yang mungkin ia hasilkan di kamar mandi. Memperoleh perhatian Tuhan karena berbuat jahat lebih baik daripada tidak memperoleh perhatian sama sekali. Mungkin karena kebencian Tuhan lebih baik daripada ketidakpedulianNya.
Ketika aku dapat pekerjaan dan berusia dua puluh lima tahun, melalui sambungan interlokal, aku bekata, sekarang apa? Ayahku tidak tahu, jadi ia berkata, menikahlah. Menikahlah sebelum seks jadi membosankan, atau kau tak akan pernah menikah.
Ending Klub Petarung menyajikan nihilitas. Sekali lagi tema sesuatu yang kosong mempesonaku. Disajikan dengan mempesona, tiap lembarnya begitu memikat, saya sampai tak bisa lepas dan penasaran terus. Buku dicetak sederhana lebih besar dari buku saku lebih kecil dari standar buku. Tanpa banyak kata-kata pujian, buku ini lebih layak dipuja seperti Tyler dipuja pengikutnya sebagai legenda. Setelah sampai di puncak, akankah kita masih bisa mencapai tempat yang lebih tinggi lagi?
“Hai, apa saja yang terjadi? Ceritakan padaku hingga hal-hal terkecil…”
Fight Club #18 | by Chuck Palahniuk | copyright 1996 | Penerjemah Budi Warsita | ISBN: 979-3684-39-9 | 06 07 08 09 10 5 4 3 2 1 | Penerbit Jalasutra | untuk Carol Meader yang ter;ibat dengan seluruh kebiasan burukku | Skor: 5/5
Karawang, 190615 – Bunga Rose di Taman
#18 #Juni2015 #30HariMenulis #ReviewBuku
Buku dan filmnya sama-sama keren!
SukaSuka
setuja.
SukaSuka
Belum baca bukunya. Tapi yg pasti filmnya keren secara action dan keren secara filosofis. Great taste !
SukaSuka
dua-duanya istimewa.
Buku dan filmnya keren.
SukaSuka
saya lupa cerita di filmnya seperti apa…. tapi sepertinya pernah nonton 😦
SukaSuka
Klub Petarung.
Brad Pitt dan Edward Norton tampil gila.
SukaSuka
Ping balik: Best 100 Novels | Lazione Budy
Ping balik: Best 100 Novels of All Time v.2 | Lazione Budy